siaranrakyat, MAKASSAR – Sebulan saya mencoba membumikan makna Bersatu Kita Teguh (BKT, 1).
Mulai dari cara kita mengaji dan menggali ayat-ayat yang mengajarkan kebersamaan (BKT, 2). Kebersaman hidup berupa jejaring kita dapatkan dari alam, misalnya bagaimana caranya buah mangga itu jatuh (BKT, 3). Bukan mencontoh jatuhnya buah kelapa dengan kesendiriannya (BKT, 4). Lebih jauh kita belajar dari takdir kejatuhan kita, dengan cara menyiasati kejatuhan (BKT, 5).
Ternyata dalam hidup, jatuh juga menjadi pelajaran keteguhan hati. Kita perlu sesekali jatuh untuk memahami makna kebangkitan (BKT, 6). Cara memaknai kebangkitan adalah dengan melebur bersama tanpa memandang latar belakang sosial, seperti yang ditunjukkan jamaah Masjid Citraland (BKT, 7).
Untuk bisa meleburkan diri dalam Kemajemukan hidup, yang perlu dikuatkan adalah modal sosial, salah satunya kepemilikan harta. Akses hidup begitu terbuka lebar dengan kelebihan harta (BKT, 8). Namun ada modal sosial yang lain yang semua orang miliki, tapi hanya yang mengkapitalisasinya dengan baik yang bisa mengambil kemanfaatan, modal senyum (BKT, 9). Universalitas senyum itu dahsyat, bisa mempersatukan bagi yang hubungannya retak (BKT, 10). Kekuatan penaklukan dari senyum itu juga sangat luar biasa. Masih ingat senyum Pak Harto yang digelari dengan “the Smiling General”? (BKT, 11).
Ada satu kekayaan yang sering dibandingkan dengan kaya harta, kaya jejaring, saya memilih kaya secara jejaring (BKT, 12). Kita disuguhkan cerita kaum bijak yang diperhadapkan pilihan, namun memilih kekayaan jejaring dan karenanya Jangan mati sebelum berjejaring (BKT, 13). Namun jangan pernah pongah dengan kekuatan jejaring. Pengalaman saya dengan mobil mogok di tol tanpa ada bantuan sama sekali adalah pelajaran yang sangat berharga (BKT, 14).
Sebenarnya, ada banyak kearifan lokal yang bisa dijadikan petuah dalam berjejaring, salah satunya filosofi tiga ujung; ujung lidah, “ujung itu”, dan ujung badik (BKT, 15). Kearifan lokal ini mengalami transformasi seiring dengan perubahan zaman, namun maknanya tetap relevan, termasuk ujung yang tabu dibicarakan pun yang tugasnya yang berbau porno, tapi atas nama kesucian nilai, kita rela memperbincangkanya di ranah publik, kata Kyai D. Zawawi (BKT, 16). Kearifan lain yang kita pelajari adalah bagaimana guru mengaji dulu untuk memompa modal sosial kita berupa hafalan surah dengan meminumkan abu kertas Qur’an yang dibakar sebagai bentuk ikhtiar (BKT, 17).
Semua itu memori indah membuat kita terpanggil untuk selalu berkumpul, yang membentuk modal sosial lain, “modal ngumpul”, yang menjadi modal penguat integrasi bangsa (BKT, 18). Kearifan ini membentuk ikatan untuk membentuk budaya filantropis, budaya untuk saling berbagi, misalnya dengan bersedekah pohon (BKT, 19). Berbagi itu untuk khalayak, orang banyak, surga itu di kerumunan dan karenanya jangan bicara surga kalau masih selalu sibuk dengan dirinya (BKT, 20).
Itulah, saat berbicara tentang keselahan sosial, kembalilah ke alam, bagaimana para pepohonan mejadi contoh terbaik yang berkorban untuk khalayak, pisang khususnya, semua bagian-bagiannya menjadi berguna untuk kehidupan. Buahnya pun dibungkus oleh daunnya sendiri, kue barongko (BKT, 21). Dengan pengorbanan seperti pohon itu menghasilkan keaslian budi yang disebut dengan kepercayaan (BKT, 22). Kepercayaan itu butuh proses, tidak instan, karenanya butuh pengujian berupa jalan bersama, atau tinggal bersama (BKT, 23). Namun, saat kepercayaan itu dibumikan, orang sering menilainya dari sisi yang berbeda, jadilah moral subyektif (BKT, 24).
Kepercayaan itu juga akan mengalami fase di mana terjadi dekristalisasi, titik jenuh, bergesernya kepercayaan, bisa berupa pengkhianatan (BKT, 25). Namun percaya terhadap perbedaan itu satu cara untuk mengawetkan kebersamaan, titik temu terjadi karena perbedaan (BKT, 26). Titik temu itulah yang mengental dan akan membentuk situasi batin yang disebut sebagai “sense of belonging” (BKT, 27).
Situasi batin juga bisa membentuk sebuah titik, titik nol, fase di mana berada dalam kenihilan, fase bersih untuk memulai kembali pencarian. (BKT, 28). Pencarian itu membutuhkan sebuah titik penemuan, titik koordinat (BKT, 29). Dan akhirnya kita butuh berada di satu titik frekuensi, gelombang yang sama, misi keutuhan. Syaratnya hadirkan gelombang empati. Tiada persatuan tanpa empati. Bersatu Kita Teguh, bukan sekadar ajaran mulia, tapi arah yang ingin dituju oleh ibadah puasa. Saat sampai, kita diberi nama: Fitrah. Kullu Aam Waantum Bikhaer.