JAKARTA, siaranrakyat – Anggota Komisi V DPR RI Syahrul Aidi Maazat menyoroti pengembangan kawasan ekonomi baru Rempang Eco City di Pulau Rempang, Kepulauan Riau yang mendapat penolakan warga setempat hingga berujung bentrok dengan aparat gabungan TNI-Polri.
Politikus PKS dari Dapil Riau II ini menuntut pemerintah menghentikan sementara Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City sebelum hak-hak masyarakat terdampak terpenuhi dengan memastikan akar budaya dan wilayah adat mereka tidak hilang.
Kemudian, kata Syahrul, menuntut pemerintah membebaskan masyarakat akibat bentrok tersebut dan menjamin mereka tidak dianiaya sebagai indikasi pemerintah ingin menyelesaikan masalah ini dengan humanis.
Selanjutnya, mendesak pemerintah menjamin pengobatan bagi masyarakat terluka korban tragedi ini dan menuntut TNI/Polri mengusut tuntas indikasi pelanggaran SOP. “Mengecam tindakan represif aparat dan semua aparat harus menahan diri,” ujar Syahrul di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/9)
Syahrul mengatakan, masyarakat Melayu berduka dan kecewa imbas proyek tersebut karena warga Rempang terancam kehilangan sejarah dan kenangan atas tanah leluhurnya akibat pengembangan kawasan industri dan investasi.
“Investasi itu seyogyanya bertujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa investasi untuk perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan melindungi tumpah darah Indonesia,” tutur Syahrul.
Ia juga menegaskan bahwa konstitusi Indonesia juga menjamin hak asasi manusia (HAM), termasuk masyarakat adat Rempang. Ia pun mengingatkan janji Presiden Jokowi soal investasi dan nasib masyarakat Indonesia.
Menurutnya, pada rapat kabinet 2019 lalu, Jokowi memerintahkan setiap menterinya untuk melindungi keberlangsungan warga Indonesia di tengah kucuran investasi asing.
“Presiden RI Bapak Joko Widodo berpesan kepada seluruh kabinetnya bahwa jika ada izin konsesi dan di dalamnya ada masyarakat, maka pastikan masyarakat terlindungi dan diberikan kepastian hukum. Jika perusahaan pemilik konsesi tidak memperhatikannya, maka cabut izinnya, siapapun pemiliknya. Begitu ungkapan Bapak Jokowi,” ungkit Syahrul.
Syahrul menambahkan bahwa masyarakat Rempang telah mendiami daerah tersebut sejak ratusan tahun lamanya, sementara BP Batam yang dulunya bernama Otorita Batam baru lahir era 1970 an dan mulai membangun Batam. “Dari sinilah lahir istilah kampung tua yang diartikan sudah ada sebelum Otoritas Batam ada, bahkan sebelum Indonesia merdeka,” tegas dia. (wol/inilah/pel/d1)