MEDAN, siaranrakyat – Kekerasan seksual dalam dunia kerja masih terus terjadi. Tak hanya dunia nyata, bahkan kekerasan seksual di dunia kerja juga mulai merangsek ke dunia digital.
Kondisi ini pun menarik perhatian Inisiator Gerakan Gadget Sehat Indonesia (GGSI), Prof Dr dr Ridha Dharmajaya Sp.BS.
Sebagai guru besar di Fakultas Kedokteran USU itu, Prof Ridha menilai kekerasan seksual mengalami perubahan menyesuaikan dengan media terjadinya.
Di dunia nyata, lanjut Prof Ridha, para pelaku masih memiliki kesungkanan, apalagi bila harus berhadapan langsung terhadap mereka yang dianggap sebagai korban.
“Di dunia digital, mereka bisa bersembunyi dengan berbagai identitas yang tersamar. Sehingga yang terjadi malah lebih vulgar, brutal dan tidak beretika, apa yang dilakukan pelaku terhadap korbannya,” ujarnya kepada awak media, Senin (16/10).
“Kembali pada nilai keluhuran budi bangsa Indonesia, tata krama, norma dan etika, terlebih lagi dengan penanaman nilai-nilai keagamaan, akan membuat masyarakat lebih beradab, khususnya dalam perilaku dengan sesama,” ucapnya melanjutkan.
Bahkan, menurut Prof Ridha, nilai-nilai tersebut perlu di-endorse dengan lebih kuat oleh pemerintah.
“Melalui tangan-tangan kemenkominfo, kemendiknas dan pihak-pihak terkait lainnya. Perlu lebih banyak videotron dan baliho yang mengendorse hal di atas tadi,” katanya.
Lebih daripada itu, sambung Prof Ridha, para pemimpin, tokoh masyarakat harus memberi teladan yang baik, yang diikuti oleh masyarakat.
Yakni bagaimana cara bersikap, berbicara dengan santun secara tulus, tidak semata pencitraan untuk menaikkan popularitas.
“Pada akhirnya kita harus memperkuat diri, keluarga dan masyarakat sekitar kita dalam menghadapi perang opini, benturan budaya khususnya di era digitalisasi seperti sekarang ini. Kita berharap masyarakat kita mengenal jati dirinya sebagai bangsa yang beragama dan berbudaya, sehingga mampu menjaga keluhuran adabnya walaupun didunia kerja yang berbasis digital atau elektronik tersebut,” ungkapnya.
Sementara itu, dilansir dari sejumlah laman, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah turut ikut mengajak semua pihak untuk serius dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja.
“Pelecehan seksual tidak dapat ditoleransi. Oleh karenanya, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja ini sangat membutuhkan pemahaman, perhatian, dan dukungan dari semua pihak,” ujar Ida Fauziyah dalam keterangannya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bahkan sebagai bentuk keseriusan, kementeriannya telah menerbitkan Kepmenaker Nomor 88 Tahun 2023 sebagai panduan bagi pengusaha, pekerja/buruh, instansi pemerintah, dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanganan seksual di tempat kerja.
Ida mengatakan Kepmenaker ini penting untuk diterbitkan karena jumlah kasus dan korban kekerasan seksual di tempat kerja masih tinggi.
Berdasarkan data Komnas Perempuan pada tahun 2021 terdapat 389 kasus kekerasan seksual di tempat kerja dengan korban sebanyak 411 korban; tahun 2022 terdapat 324 kasus dan 384 korban; dan hingga Mei 2023 terdapat 123 kasus dan 135 korban.
Selain itu, berdasarkan survei ILO mengenai kekerasan dan pelecehan di dunia kerja pada tahun 2022, sebanyak 70,93 persen dari total 1.173 responden mengaku pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Sebanyak 69,35 persen korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dan pelecehan.
Sementara itu, kekerasan dan pelecehan paling sering dialami korban adalah yang bersifat psikologis sebanyak 77,40 persen disusul seksual sebanyak 50,48 persen. Sampai saat ini, jumlah korban kekerasan di tempat kerja masih didominasi oleh perempuan sebanyak 656 orang. (wol/rls/pel/d2)
Editor AGUS UTAMA